Budaya Membaca menjadi topik penting untuk diperhatikan. Kenapa membaca itu penting? Secara definitif, membaca merupakan kegiatan kognitif yang mencakup proses penyerapan pengetahuan, pemahaman, kemampuan analisis, kemampuan sintesis, dan kemampuan evaluasi. Oleh karenanya, semakin sering seseorang membaca maka ia akan memiliki pengetahuan yang luas, punya kreativitas terbuka, imajinasi tinggi, pemikiran yang maju dan berkembang. Alasan ini yang menjawab pertanyaan di atas mengapa membaca itu penting.
Sebagai benua terbesar kedua di dunia dengan 54 negara di dalamnya, topik budaya membaca juga menjadi penting di Afrika. Mayoritas negara di Afrika adalah Least Developed Countries menurut Least Developed Countries Report 2023′ yang dirilis oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). Meski begitu, ternyata terdapat beberapa negara dengan budaya membaca yang baik sehingga dapat kita ulas sebagai referensi kita.

Budaya Membaca di Afrika
Budaya membaca di berbagai negara Afrika masih sangat rendah di semua kelompok umur. Bahan bacaan yang non-akademis pun, misalnya novel, surat kabar, majalah, dan buku-buku lainnya, jumlah pembacanya masih minim. Sebagai contoh, sebuah penelitian di Afrika Selatan menunjukkan bahwa 78% siswa sekolah dasar kelas 4 tidak dapat membaca untuk memahami bahasa apapun, meskipun tetangga mereka, Zimbabwe, mempunyai tingkat melek huruf yang sangat tinggi. Di Ghana dan Nigeria juga menunjukkan kesimpulan serupa mengenai budaya membaca yang buruk untuk materi yang berada di luar domain akademis yang ditentukan. Namun, ternyata tidak semua negara di Afrika memiliki tingkat literasi yang rendah.
Mengutip tulisan oleh Itai Makone, seorang ahli Political Science dari Stellenbosch University menyebutkan bahwa penelitian di Rwanda dan Namibia menunjukkan hasil yang baik, bertolak belakang dengan beberapa negara tadi. Nah yang menjadi menarik adalah yang terjadi di Nairobi, Kenya. Di sana, setidaknya 85 persen penduduk yang tinggal di Nairobi membaca secara rutin dan lebih dari separuhnya melakukannya setiap hari. Data ini didapat dari penelitian yang dilakukan oleh perusahaan data Studi Analytics dan Writers Guild Kenya (WGK).
Apa yang menyebabkan budaya membaca ini berbeda-beda di tiap negara di Afrika?
Mengutip penelitian oleh Studi Analytics dan WGK, budaya membaca, yang ditentukan oleh frekuensi membaca, genre membaca, cara membaca dan bahan bacaan serta jumlah yang dibelanjakan setiap bulannya, ternyata juga dipengaruhi secara signifikan oleh sejumlah faktor termasuk pendapatan, jenis kelamin, dan usia. Jika dikelompokkan berdasarkan usia, maka permasalahan yang dihadapi oleh usia anak-anak hingga remaja adalah kurangnya sumber daya dan fasilitas perpustakaan, ruang kelas yang penuh sesak sehingga peserta didik tidak mudah untuk fokus, guru yang tidak terampil, dan kurangnya dukungan orang tua.
Di Afrika Selatan, diketahui bahwa sebagian besar orang tua tidak membacakan buku untuk anak-anak mereka terutama karena mereka tidak bisa berbahasa Inggris sedangkan buku anak-anak yang ditulis dalam bahasa asli tidak mudah diakses. Motivasi membaca tidak terbatas pada materi yang ditulis dalam bahasa Inggris, Perancis, Portugis, atau Arab tetapi juga teks yang ditulis dalam bahasa asli Afrika. Diperkirakan 95% buku yang diterbitkan di Afrika ditujukan untuk sektor akademis dibandingkan dengan Eropa yang memiliki rasio buku akademis dan buku non-akademis sebesar 60:40. Oleh karenanya, pembaca buku non-akademis di Afrika hanya menyumbang sekitar 5% dari buku yang diterbitkan. Industri buku teks di Afrika sebagian besar didominasi oleh Perusahaan Multi-Nasional dari luar benua tersebut. Hal ini membuat penerbit komersial lokal dan penerbit independen kecil bersaing untuk mendapatkan sisa pangsa pasar.
Lalu, permasalahan yang dihadapi oleh usia remaja hingga usia tua adalah soal kondisi sosial dan ekonomi. Kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa kondisi ekonomi yang sulit dan tingkat pengangguran yang tinggi berbeda-beda di Afrika, dan oleh karena itu orang tua berkonsentrasi pada keputusan dan kebutuhan yang dianggap lebih penting, daripada membeli dan membaca buku.
Masalah Bacaan Digital
Dari case Nairobi, masalah juga masih ditemui, khususnya untuk pembaca digital. Para pembaca digital ini sering mengalami distraksi karena mereka yang lebih menyukai bacaan digital lebih jarang membaca dibandingkan mereka yang lebih menyukai buku secara fisik atau surat kabar. Alasannya adalah. mereka yang membaca secara digital menggunakan ponsel sehingga mudah terganggu oleh notifikasi. Dengan kata lain, kegiatan membaca digital mempengaruhi kebiasaan membaca.
Sedikitnya warga Nairobi yang membaca hanya untuk belajar mengatakan bahwa mereka terlalu sibuk dengan aktivitas sehari-hari untuk membaca. Sementara sebagian lainnya mengatakan membaca itu membosankan. Alasan lain mengapa orang tidak membaca adalah hilangnya konsentrasi, kurangnya minat dan motivasi, serta kecanduan media sosial.
Meski begitu, lingkungan digital menghadirkan peluang untuk meningkatkan jumlah pembaca di waktu senggang. Cukup banyak orang yang memiliki hp yang memungkinkan mereka mengakses e-book dan buku audio. Kaum muda di Nairobi dapat membentuk klub membaca/buku online dengan menggunakan platform media sosial. Tetapi, membaca bukanlah satu-satunya alternatif bagi platform digital. Hp dapat digunakan untuk gim, media sosial, berita, yang juga menjadi salah satu distraksi dari konsumsi bacaan digital. Tantangan lain dari bacaan digital adalah timbulnya biaya lebih untuk berlangganan dan membeli buku online, membeli data seluler, dan tantangan konektivitas internet.
Faktor lainnya
Di faktor jenis kelamin, perbedaan jenis kelamin mempengaruhi budaya membaca dengan sangat signifikan. Perempuan, misalnya, lebih suka membaca materi fiksi sedangkan laki-laki lebih banyak membaca genre non-fiksi seperti buku umum, majalah, dan surat kabar. Secara umum, buku merupakan bahan yang paling banyak dibaca oleh 86 persen masyarakat Nairobi, diikuti oleh surat kabar sebesar 36 persen. Selain itu, pendapatan juga berpengaruh signifikan terhadap kebiasaan membaca. Mereka yang berpenghasilan lebih tinggi mengeluarkan uang lebih banyak untuk bahan bacaan dan juga lebih sering membaca. Masih mengutip The East African. rata-rata, warga Kenya menghabiskan sekitar KES 1,328 (Kenyan Shilling mata uang Kenya) atau sekitar Rp 156 ribu untuk bahan bacaan setiap bulannya. Survei penelitian ini menunjukkan 41 persen hanya membaca satu buku setiap bulan, sementara 4,9 persen membaca hingga lima buku sebulan dan satu surat kabar setiap hari.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa permasalahan budaya membaca itu cukup kompleks karena dipengaruhi banyak faktor. Mulai dari faktor sumber daya, sarana-prasarana kepentingan tiap individu, ekonomi, dsb yang menyebabkan budaya membaca di tiap negara Afrika berbeda-beda. Afrika hingga saat ini masih berjuang untuk meningkatkan budaya membaca. Itai Makone dalam artikelnya menyebut bahwa dia optimis untuk peningkatan budaya membaca di Afrika. Namun, hal ini harus dibarengi dengan dukungan dari para pembuat kebijakan: Pertama, memberikan kepemimpinan dan membekali pendidik tentang cara mengajar siswa membaca untuk pemahaman. Kedua, memperbarui dan mengisi kembali perpustakaan yang ada, membangun perpustakaan baru terutama di daerah pedesaan yang terpinggirkan dengan menerapkan kebijakan perpustakaan yang berpihak pada buku-buku produksi lokal, terutama yang ditulis dalam bahasa daerah. Ketiga, pembuat kebijakan harus menyediakan waktu untuk membaca ketika mengembangkan kurikulum pendidikan dengan menjadwalkan waktu untuk membaca gratis.

Simpulan
Peran pemerintah dan pemangku kebijakan lain memang diperlukan karena mereka memiliki kemampuan untuk itu. Kampanye kesadaran masyarakat, pameran buku, dan kompetisi membaca adalah inisiatif lain yang dapat dilakukan dan dikolaborasikan oleh masyarakat dan sekolah, serta pembuat kebijakan untuk meningkatkan budaya membaca.
Ngomomg-ngomong soal perpustakaan, sebetulnya Indonesia menempati urutan ke-36, mengungguli Korea Selatan di urutan ke-42, Malaysia di urutan ke-44, Jerman di urutan ke-47, Belanda di urutan ke-53, dan Singapura ke-59. Ini artinya, Indonesia memiliki sarana-prasarana membaca yang cukup baik. Namun, tetapi tidak dimanfaatkan dengan optimal mengingat budaya membaca di Indonesia juga masih terbilang “tabu”.
Ditulis oleh Brillian A/aboveeidea
Referensi
Herfanda, A. Y. (2018). Meningkatkan literasi bahasa untuk memperkuat daya saing bangsa.
Itai Makone. (2021), “A Good Reading Culture: Potential Game Changer in Africa” dari African Book Collective
https://www.readafricanbooks.com/opinion/a-good-reading-culture-potential-game-changer-in-africa/ diakses pada 17 Maret 2024.
Lestari, Frita Dwi, dkk. (2021). Pengaruh Budaya Literasi terhadap Hasil Belajar IPA di Sekolah Dasar. Jurnal Basicedu. 5(6): 5087—5099.
Shofaussamawati, S. (2016). Menumbuhkan Minat Baca Dengan Pengenalan Perpustakaan Pada Anak Sejak Dini. LIBRARIA: Jurnal Perpustakaan, 2(1).
Vincent Owino. (2023). Study: 85 percent of Nairobians have a good reading culture. dari The East African https://www.theeastafrican.co.ke/tea/magazine/study-reveals-nairobians-reading-culture-4140184 diakses pada 18 Maret 2024